Pada
jaman dahulu bagi kebanyakan masyarakat jawa untuk membangun sebuah rumah,
diperlukan persiapan yang lebih matang dibandingkan dengan jaman sekarang,
bukan hanya mementingkan berapa biaya yang harus di keluarkan tetapi lebih
cenderung memikirkan hal-hal lain menyesuaikan tradisi, saperti hari apa
sebaiknya memulai membangun, siapa yang sebaiknya dimintakan pertolongan untuk
membangunnya, bentuk yang bagaimana lelaku yang sebaiknya dilakukan, jenis sesajen
yang harus dibuat, dll.
Jaman sekarang kebanyakan kita lebih bisa berpikir praktis dan mungkin penekanan lebih pada anggaran biaya yang kita punya. Bentuk bangunan pun sekarang lebih bebas dalam menentukannya, tapi tidak ada salahnya kalau kita sedikit merenung kembali tradisi orang tua kita dahulu dalam membangun rumah terutama bagi orang jawa.
Bangunan pokok rumah adat Jawa bisa di klasifikasikan menjadi lima macam, yaitu: bentuk Panggung Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug.
Tetapi dalam perkembangannya, bentuk asal tersebut berkembang menjadi berbagai jenis bentuk, hanya bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar pada bangunan yang lima tersebut. Biasanya dalam pembangunan yang akan dilakukan perlu diperhitungkan dahulu tentang waktu, letak, arah, cetak pintu utama rumah, letak pintu pekarangan, kerangka rumah, ukuran, bentuk bangunan rumah yang akan dibuat, dan sebagainya, supaya kelak memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat di Jawa, setiap akan membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu benda-benda tertentu yang disajikan untuk badan halus, danghyang desa dan sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatantetapi pada jaman sekarang, utamanya kaum muda, tidak sepenuhnya mengenal sesaji, bahkan orang-orang tuapun tidak sedikit yang hanya mengenal secara sepotong-potong. Tradisi sesaji, sampai sekarang mudah ditemui dalam banyak peristiwa, namun sepertinya makna sesaji telah mengalami distorsi. Sesaji sebagai bentuk lain dari doa tidak lagi dilakukan, kalaupun ada, mungkin hanya dalam hitungan jari.
Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai dengan kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka terdapatlah bangunan rumah adat Jawa sebagai berikut.
Bangunan model/bentuk Panggang Pe dalam perkembangannya terdapat bangunan Panggang Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong Setangkep, Cere Gancet, Empyak Setangkep, Trajumas, Barongan, dan sebagainya. Dari bangunan rumah kampung berkembang menjadi bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak, Klabang Nyander, Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Jerum, Cere Gancet Semar Tinnadhu, Cere Gancet Semar Pinondhong, dan sebagainya.
Dari bangunan Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk rumah Limasan Lawakan, Gajah Ngombe, Gajah Jerum, Klabag Nyonder, Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan, Apitan, Pacul Gowang, Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Trajrumas Rambang Gantung, Lambangsari, Sinom Lambang Gantung Rangka Usuk Ngambang, dan sebagainya.
Dari perkembangannya, bangunan rumah Joglo mengalami variasi menjadi , Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo Jampongan, Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo Semar Tinandhu, dan sebagainya.
Dan dari jenis tajugpun dalam perkembangannya terdapatlah bangunan rumah tajug (biasa untuk rumah ibadah), tajug lawakan lambang teplok, tajug semar tinandhu, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambang gantung, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambnag gantung, tajug mangkurat, tajug ceblakan, dan sebagainya.
Disamping bentuk bangunan rumah baku tersebut, masih terdapat bangunan rumah untuk musyawarah (rapat), rumah tempat menyimpan padi (lumbung) atau tempat memelihara binatang ternak (kandang)
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terutama untuk kalangan yang berada terdiri dari beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur, istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan lain dari keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendhopo, yang letaknya di depan rumah tempat tinggal, biasa digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah mburi) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendopo terdapat pringgitan. Pringgitan adalah tempat yang biasanya digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai hajat (misalnya pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Susunan rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa.
Disamping bangunan rumah tersebut, rumah masih dilengkapi dengan bangunan lainnya sebagai pelengkap, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan Pringgitan. Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah belakang (omah buri), tempat memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang, untuk tempat binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik,ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda disebut gedhongan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh halaman yang luas, terutama untuk kalangan yang berada. Gedhongan biasanya menyambung ke kiri atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah kiri agak jauh dari pendhapa.
Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian pula tempat buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan pendhapa. Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.
Meskipun demikian variasi bangunan rumah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah keluarga, sangat bergantung pada kemampuan dan status sosial keluarga. Secara lengkap kompleks rumah tempat tinggal orang Jawa adalah rumah belakang, pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para pelayan), lumbung, kandhang, gedhogan, dapur, pringgitan, topengan, serambi, bangsal, dan sebagainya. Jaman dahulu besar kecilnya maupun jenis bangunannya dibuat berdasarkan status sosial pemiliknya didalam masyarakat.
Jaman sekarang kebanyakan kita lebih bisa berpikir praktis dan mungkin penekanan lebih pada anggaran biaya yang kita punya. Bentuk bangunan pun sekarang lebih bebas dalam menentukannya, tapi tidak ada salahnya kalau kita sedikit merenung kembali tradisi orang tua kita dahulu dalam membangun rumah terutama bagi orang jawa.
Bangunan pokok rumah adat Jawa bisa di klasifikasikan menjadi lima macam, yaitu: bentuk Panggung Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug.
Tetapi dalam perkembangannya, bentuk asal tersebut berkembang menjadi berbagai jenis bentuk, hanya bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar pada bangunan yang lima tersebut. Biasanya dalam pembangunan yang akan dilakukan perlu diperhitungkan dahulu tentang waktu, letak, arah, cetak pintu utama rumah, letak pintu pekarangan, kerangka rumah, ukuran, bentuk bangunan rumah yang akan dibuat, dan sebagainya, supaya kelak memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat di Jawa, setiap akan membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu benda-benda tertentu yang disajikan untuk badan halus, danghyang desa dan sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatantetapi pada jaman sekarang, utamanya kaum muda, tidak sepenuhnya mengenal sesaji, bahkan orang-orang tuapun tidak sedikit yang hanya mengenal secara sepotong-potong. Tradisi sesaji, sampai sekarang mudah ditemui dalam banyak peristiwa, namun sepertinya makna sesaji telah mengalami distorsi. Sesaji sebagai bentuk lain dari doa tidak lagi dilakukan, kalaupun ada, mungkin hanya dalam hitungan jari.
Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai dengan kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka terdapatlah bangunan rumah adat Jawa sebagai berikut.
Bangunan model/bentuk Panggang Pe dalam perkembangannya terdapat bangunan Panggang Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong Setangkep, Cere Gancet, Empyak Setangkep, Trajumas, Barongan, dan sebagainya. Dari bangunan rumah kampung berkembang menjadi bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak, Klabang Nyander, Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Jerum, Cere Gancet Semar Tinnadhu, Cere Gancet Semar Pinondhong, dan sebagainya.
Dari bangunan Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk rumah Limasan Lawakan, Gajah Ngombe, Gajah Jerum, Klabag Nyonder, Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan, Apitan, Pacul Gowang, Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Trajrumas Rambang Gantung, Lambangsari, Sinom Lambang Gantung Rangka Usuk Ngambang, dan sebagainya.
Dari perkembangannya, bangunan rumah Joglo mengalami variasi menjadi , Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo Jampongan, Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo Semar Tinandhu, dan sebagainya.
Dan dari jenis tajugpun dalam perkembangannya terdapatlah bangunan rumah tajug (biasa untuk rumah ibadah), tajug lawakan lambang teplok, tajug semar tinandhu, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambang gantung, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambnag gantung, tajug mangkurat, tajug ceblakan, dan sebagainya.
Disamping bentuk bangunan rumah baku tersebut, masih terdapat bangunan rumah untuk musyawarah (rapat), rumah tempat menyimpan padi (lumbung) atau tempat memelihara binatang ternak (kandang)
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terutama untuk kalangan yang berada terdiri dari beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur, istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan lain dari keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendhopo, yang letaknya di depan rumah tempat tinggal, biasa digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah mburi) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendopo terdapat pringgitan. Pringgitan adalah tempat yang biasanya digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai hajat (misalnya pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Susunan rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa.
Disamping bangunan rumah tersebut, rumah masih dilengkapi dengan bangunan lainnya sebagai pelengkap, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan Pringgitan. Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah belakang (omah buri), tempat memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang, untuk tempat binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik,ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda disebut gedhongan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh halaman yang luas, terutama untuk kalangan yang berada. Gedhongan biasanya menyambung ke kiri atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah kiri agak jauh dari pendhapa.
Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian pula tempat buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan pendhapa. Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.
Meskipun demikian variasi bangunan rumah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah keluarga, sangat bergantung pada kemampuan dan status sosial keluarga. Secara lengkap kompleks rumah tempat tinggal orang Jawa adalah rumah belakang, pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para pelayan), lumbung, kandhang, gedhogan, dapur, pringgitan, topengan, serambi, bangsal, dan sebagainya. Jaman dahulu besar kecilnya maupun jenis bangunannya dibuat berdasarkan status sosial pemiliknya didalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment