Omah dan
Pendopo merupakan dua bagian yang penting dalam rumah adat jawa. Dua struktur
ini punya makna ganda seperti manusia. Omah
adalah bagian pribadi yang orang luar tidak diperbolehkan untuk masuk, sedang pendopo adalah bagian sosial atau umum
dimana orang orang bisa berkumpul dan bersosialisasi dan Pringgitan adalah ruang antara keduanya. Karena dari makna
pentingnya itu rumah- rumah dalam kebudayaan jawa bisa dikatakan belum lengkap
tanpa pendopo di depan rumah. Menurut Gunawan Tjahjono 1986 ketika lahan telah
di pilih untuk banguna maka Si penghuni harus menanam dua macam pohon pisang
ditengah –tengah lahan itu yaitu pisang raja dan pisang mas. Jika pisang raja
tumbuh yang lebih dulu maka pusat rumah harus di bangun pada posisi pisang raja
itu sedang pohon pisang masnya harus di pindah didepan pisang raja.,sebagai
tanda tempat untuk pendopo. Jika yang
terjadi sebaliknya maka bagian tengah dari lahan harus diperuntukkan untuk
pendopo sedang bangunannya dimulai di titik yang agak kebelakang dari tengah.
Diantara para sarjana-sarjana terdahulu yang tertarik dan membuat langkah
pertama untuk meneliti Arsitektur Jawa adalah arsitek hindia belanda Henry
Mclaine Pont 1923 dan Thomas Karsten, dalam tesisnya tentang arsitektur jawa,
Pont dan Karsten berpendapat bahwa tradisi bangunan jawa, yang mana mereka
percaya, telah berkembang yang mana
puncaknya adalah adanya bangunan pendopo kraton (istana). Pada sisi lain,
arsitek hindia-belanda, Wolff Schoemaker(1930-an) berpendapat bahwa pendopo
kraton jawa adalah inti dari bangunan atau merupakan bentuk awal dari
arsitektur rumah jawa.
Studi arsitektur Mclaine Pont mencoba membuktikan bahwa sistem bangunan jawa
berkaitan erat dengan logika sistem struktur(bangunan) modern. Apa yang terjadi
pada proses penelitian arsitektur pont
adalah adanya penggunaan logika matematika
dibalik prinsip pembangunan bangunan pada bangunan- bangunan penting di
pulau jawa, misal pada Masjid Agung Yogyakarta, Masjid Agung Cirebon, Bangsal
Witana Solo, and Pendopo Agung kraton Yogyakarta
Abidin Kusno (2000), seorang arsitek Indonesia, sejarawan, dan dosen di
University of British Columbia, mengungkapkan teorinya bahwa sementara
masyarakat jawa membangun tradisi yang be rkaitan dengan sistem budaya sosial
hirarki yang lebih abstrak pada awal
abad ke 20 di masyarakat jawa. Penelitian pont menyoroti lebih luas dan
rasional bahwa tradisi arsitektur ini kelihatannya netral dengan sistem
bangunan yang pragmatis serta gaya arsitektur.
Stephen Cairn, seorang dosen dan
sejarawan arsitekur di University
of Melbourne, Australia, menguji debat tentang arsitektur jawa
antara Mclaine Pont dan Thomas Karsten dengan Wolff Schoemaker berpendapat
bahwa pandangan Pont dan Karsten pada pendopo adalah sebuah ungkapan
arsitektural yang ideal, sebuah kesatuan dari kejelasan struktur
bangunan,fungsi untuk umum dan bentuk keindahan. Dan pada pandangannya ,
tradisi vernacular adalah conceived utama sebagai suatu kosakata keindahan
bangunan, tanpa mengesampingkan nilai-nilainya, kegunaan, dan keutaamaan
diantara masyarakat yang membangunnya.
Dari
pendapat diatas , mengabaikan dari perbedaan titik pandang ketiganya, Pont,
Karsten dan Schoemaker berbagi sebuah kesamaan pendapat yang telah memberi arti
penting pada arsitektur jawa, mengenai komposisi bangunan kraton dan bangunan
perumahan secara umum. Pendapat ketiganya berhenti pada titik ini dan tidak ada
thesis selanjutnya tentang nilai tektonik dari pendopo sebagai bentuk awal dari
rumah jawa termasuk didalamnya proporsi dasar dan sistem modulnya, Di tahun
1985, Josef Prijotomo mengemukakan penelitiannya tentang petungan atau sistem
perhitungan pada arsitektur jawa dan berlanjut dengan beberapa artikel yang
menggunakan naskah naskah kuno yang menjelaskan tentang rumah jawa, diantaranya
Kawruh Kalang (antara 1882 hingga 1906) dan Serat Centhini (naskah abad ke 18).
Diterjemahkan dari http://yuliantoqin.culture360.org
No comments:
Post a Comment